Memutus Rantai

Karya : Diana Mahfiatus Salimah SMKN 5 Jember

Apa yang lebih nikmat selain menikmati kepulan asap putih tanpa
gangguan? Surga! Apalagi ada cewek cantik lewat di depanku meskipun
senyumnya terlihat masam dan sesekali mulutnya mengerucut. Hanya
ada sedikit kesalahan: Ini bukan di kafe atau taman bunga. Bahkan,
aroma pesing menguar di sela-sela asap nikotin.
“Den, mulutnya dikondisikan, gak perlu pake kuah. Mending kuah
bakso, ini kuah iler!”
Aku terkejut, sontak air liur yang nyaris menetes, kupaksa kembali
ke tempatnya berasal.
“Sompret! Gak ngenak-ngenakin orang lagi ngeliat pemandangan
bagus,” decakku sebal.
“Eh, justru aku nyelametin mukamu di injury time. Jijik kali cewek
lihat cowok ileran. Belum-belum kamu sudah dicoret sebelum kualifikasi
babak pertama calon pacar potensial,” kilah Restu sambal memiringkan
senyumnya.
Aku sangat ingin mendebatnya, tetapi deritan pintu
membungkamku. Ilyana, sosok cantik kelas sebelah, muncul dari kamar
mandi. Mungkin terlihat lebay, tetapi gerakannya seakan slow motion di
film yang sering aku tonton ketika tokoh protagonis perempuan berada
dalam adegan.
Astaga, begini rasanya bertemu dengan gebetan? Hanya dengan
melihat senyumnya, rasanya jantungku jumpalitan. Benar kata Om Ahmad
Dhani, seperti genderang mau perang. Ah, andai dia mau menyapaku ….
“Den … Den!”
Sepasang tangan menarik lenganku. Kampret si Restu.
“Den!”
“Deni!”

Sebentar, suara yang terakhir? Suara bariton ini kenapa lebih berat
dan tegas? Apa mungkin gara-gara rokok, suara Restu jadi lebih
berwibawa? Dengan sedikit ragu, aku menoleh.
“Sudah?”
Sompret! Aku terciduk Guru BK.


Mimpi apa aku semalam sampai tertangkap basah di lorong kamar
mandi. Mana rokok masih ada di sela-sela jari yang baranya langsung
menyentuh kulit ari saat aku terkejut setengah mati. Apa kuota
keberuntunganku sudah habis?
“Rambutmu berkarat, Den?”
Haa?
Aku benar-benar tidak mengerti dengan perkataan Pak Rahmad,
Guru BK yang memergokiku merokok. Sejak kapan rambut mengalami
korosi? Seingatku aku belum mengoleskan bubuk logam di kepalaku.
“Kenapa ada coklat gelap dan coklat terang di rambutmu?” tanya
Pak Rahmad lagi.
Sontak aku meringis. Guru BK ini benar-benar ketinggalan zaman.
Dia tidak mengerti kalau warna ini sedang tren. Aku hanya mengoles
sedikit semir rambut cokelat untuk highlight, tetapi kenapa masih
kelihatan?
“Ehm … itu a-anu … anu, Pak—.”
“Anu terus. Dari tadi anu saja jawabanmu.” decak Pak Rahmad.
“Kan nggak mungkin saya jawab Ani, Pak. Ani, kan, gebetannya
Pak Haji Rhoma Irama. Nanti saya dimarahi,” kilahku sambil menyeringai.
“Kamu ini!”
Aku ingin menjawab lagi, tetapi Pak Agus, guru BK yang lain,
meminta Restu mejanya. Astaga, kami ditangani guru BK berbeda. Keluar
dari ruang BK hidup-hidup sepertinya tinggal harapan.

Sudah menjadi rahasia umum aku dan Restu sering dijuluki cover
boy buku BK, mungkin karena kami berdua langganan tetap Pak Rahmad.
Aku tidak mengerti apa Pak Rahmad tidak punya hobi lain selain
memanggil kami berdua?
“Kamu ini, ya. Lima hari yang lalu ketahuan bolos. Sekarang
ngrokok, rambut potongan tidak jelas dan warnanya ….”
Ini yang paling tidak kusukai dari ruang BK. Ruangan ini tempat
dibacakannya dosa-dosa. Setelah itu, Pak Rahmad akan berlagak seperti
Mario Teguh, memberi nasihat dan kata-kata bijak yang memusingkan.
Sebenarnya Pak Rahmad itu baik—selain hobinya razia ke tempat-
tempat tertentu di sekolahku. Apa dia tidak capek berkeliling SMK seluas
ini hanya untuk menangkap dan menceramahiku macam-macam? Lihat
saja, penampilannya bahkan tidak diperhatikan. Rambutnya belah tengah
dengan potongan jadul. Kalau rambutnya ditata powerful undercut dengan
sedikit highlight di kiri dan kanan, dia akan mirip Jungkook BTS versi
kearifan lokal.
“Semoga bapakmu segera datang karena sebentar lagi saya rapat,
Kali ini bapakmu yang asli, ya” ujar Pak Rahmad membuyarkanku dari
lamunan yang bergentayangan.
Aku hanya meringis. Masih jelas ingatanku tentang kejadian
seminggu yang lalu. Orang tuaku dipanggil ke BK untuk memberitahukan
segala amal dan dosaku. Tentu saja dengan kecerdasan yang tak
terbantahkan, aku bisa mencari solusi instan dan aman.
Kemenanganku rupanya tak lama. Pak Rahmad mengutak-atik
telepon genggam. Lalu, tangan kirinya membuka buku yang sampulnya
tertulis “Anecdotal Record”.
“Sebentar, bukannya kemarin Bapak sudah ke sini?” tanya Pak
Rahmad dengan tatapan setajam elang.
Lelaki yang kupanggil “Bapak” di depanku itu gelisah. Rambutnya
yang ikal makin awut-awutan. Kulitnya yang gelap mendadak bersemu
merah. Berkali-kali dia melirik ke arahku.

“Ini bukannya Bapak, ya?”
Ajegile, aku ketahuan! Pak Rahmad menyodorkan foto dan bukti
penanganan kasus yang sudah ditandatangani. Sialnya lagi, di foto itu
juga ada Restu. Astaga! Kenapa Restu tidak janjian dulu kalau menyewa
tukang becak ini sebagai orang tua gadungan. Aduh, pantas aku dan
Restu dijuluki “kembar sial”.
Belajar dari pengalaman seminggu yang lalu, aku dan Restu harus
memodifikasi rencana. Kami berdua sudah sepakat siapa yang akan
menjadi wali murid dadakan.
“Nah, bapakmu sudah datang.” Kata-kata Pak Rahmad
membuyarkan lamunan yang kubalas dengan senyuman.
Sejenak aku terperangah, menyadari bahwa semua tidak sesuai
rencana. Sialan! Restu berkhianat.
Seorang lelaki berkumis tipis dengan kulit sawo matang dan
bereperawakan tegap masuk ke ruangan setelah mengucapkan salam.
Matanya menatapku datar. Aku membuang pandanganku ke arah lain.
Lelaki itu duduk di sebelahku. Sebuah sofa three seater menjadi saksi
bahwa kami berjumpa kembali dengan suasana yang canggung.
Mendadak aku merasa ruangan berukuran 6×9 meter ini menjadi pengap.
Selanjutnya yang terjadi aku bahkan tidak bisa mendengar apa
pun. Hanya kronologi kejadian yang terus-menerus diulang seperti
seminggu lalu. Saat itu, aku masih bisa tersenyum, bahkan melancarkan
banyolan. Sekarang, semua tawa seperti disembunyikan semesta dan aku
tidak bisa menemukannya.
“Jadi begitu, Pak. Saya mohon kita bekerja sama untuk Deni agar
bisa memperbaiki diri. Sebenarnya, Deni anak baik dan pandai. Hanya
saja, kepandaian disalurkan pada hal-hal yang tidak pada tempatnya.”
“Iya, Pak. Saya akan sering mengingatkan kelakuan Deni agar
tidak menyusahkan lagi.”
Menyusahkan? Sebenarnya aku ingin berteriak bahwa lelaki ini
tidak berhak mengataiku menyusahkan. Lelaki ini justru sumber

kesusahan keluargaku. Dia dengan pekerjaannya yang serabutan, dengan
tidak tahu diri meninggalkan rumah dan menyisakan masalah.
“Iya, Pak, Mohon perhatian lebih karena ini usia-usia rawan.”
“Baik, Pak. Akan saya perhatikan!”
Bohong! Lelaki itu pendusta. Perhatiannya hanya sebatas ruangan
ini saja. Dia lebih sibuk dengan istri barunya. Bahkan, hanya sekadar
menyapaku lewat telepon genggam tidak dia lakukan.
Lelaki itu—yang saat ini berjabatan tangan dengan Pak Rahmad—
hanya mengingatkanku pada masa-masa suram. Aku hanya anak dari
keluarga yang pas-pasan, bahkan bisa dibilang kekurangan. Seakan itu
tak cukup, keluargaku juga berantakan. Bapak kerjanya serabutan, tidak
bisa diandalkan. Akhirnya, Ibu menjadi TKI di luar negeri.
Enam bulan pertama, aku belum bisa merasakan nikmatnya hasil
keringat Ibu. Kudengar dari percakapan Bapak dan Mbah Uti, uang itu
masih dipotong untuk pembiayaan ke luar negeri dan utang sana-sini. Tak
lama kemudian, Bapak bisa membelikanku baju, tas, dan sepatu baru.
Tak hanya itu, televisi dan telepon genggam pun juga baru.
Akan tetapi, surga ternyata tak lama mampir di rumahku.
Selanjutnya uang tersendat-sendat. Uang kiriman Ibu seharusnya untuk
merenovasi rumah: genteng bocor, dinding yang masih belum dikuliti,
lantai dapur yang dari tanah dikeraskan, dan—mungkin—perlu menambah
satu kamar lagi. Namun, uang itu menjadi modal bapakku berlagak seperti
playboy karbitan yang merayu wanita-wanita cantik. Rupanya umpan
Bapak ditangkap wanita desa sebelah. Tak lama kemudian, aku
mempunyai ibu tiri. Ujungnya bisa ditebak, orang tuaku bercerai. Saat itu
aku masih kelas 5 SD dan terpaksa tinggal dengan kakek dan nenekku.
Sejak saat itulah bapakku pergi dari rumah dengan meninggalkan lubang
berupa utang. Tak hanya utang uang, tetapi utang pada tahun-tahunku
yang hilang.


Aku berjalan lesu menuju kantin yang disesaki siswa-siswa yang
antre membeli makanan dan minuman. Matahari menyengat membuat
tenggorokanku makin kering. Setelah pertemuanku dengan lelaki
itu—yang aku bahkan malas memanggilnya “Bapak”—tiba-tiba perutku
meronta-ronta ingin diisi. Sepertinya bertemu muka dengannya
menghabiskan energiku sampai tidak bersisa. Aku menjadi lemas seperti
orang terkena anemia.
“Kamu ngapain? Udah habis kiriman ibumu yang menjadi wanita
karir di luar negeri?” ledek Ardi, temanku lain kelas. Kata-kata Ardi seperti
sengatan lebah di telingaku. Aku tidak sedang dalam mode bercanda.
“Jangan cuma malas dan bikin masalah, nanti kamu berakhir
seperti makmu. Jangan sampai jongos dianggap gen yang tidak bisa
hilang,” timpal Sandi, sahabat Ardi.
Dua tanganku bergetar dan gerahamku beradu tanpa sadar. Peluh
dingin mulai menguasai badan. 
Kenapa kalau ibuku jongos?
Kata itu hanya menggaung di kepalaku yang sekrup-sekrupnya
seakan mengendur. Bayangan ibuku yang berkeringat karena
membersihkan rumah dan mengepel lantai menari-nari di pelupuk mataku
seiring dengan kelima jariku di tangan kanan dan kiri bersatu membentuk
kepalan. Kepalan itu begitu kuat seakan ada energi lain yang menyusup.
Dua anak lelaki di depanku seakan menjadi mahluk kecil dengan racauan
yang makin memekakkan telinga. Cukup!
Buk! Buk!


Aku kembali ke ruangan ini. Ruang yang paling kubenci di
sekolahku. Tatapan tajam Pak Rahmad dan sorot ingin tahu teman-
temanku benar-benar mengganggu.
Beberapa kali Pak Rahmad mengembuskan napas panjang
sembari memeriksa luka-lukaku. Memar di pipi dan buku-buku tangan

menjadi bukti kerasnya perkelahian di kantin tadi. Belum lagi, dua
kancingku yang terlepas dan kain bagian leher yang sobek. Nasib Ardi
dan Sandi tidak jauh berbeda.
Aku harus mencatat hari ini sebagai salah satu hari sial di hidupku.
Pengkhianatan Restu, kedatangan lelaki itu, serta penghinaan Ardi dan
Sandi.
“Kamu sudah kelas XI, seharusnya sudah bisa lebih
mengendalikan diri,” tutur Pak Rahmad.
“Mereka keterlaluan, Pak,” debatku sambil menatap Ardi dan Sandi
yang berada tak jauh dari tempatku duduk. Mereka juga sedang ditangani
oleh guru BK yang lain. Terpaksa aku dan mereka dipisahkan karena
beberapa kali tinjuku hampir melayang lagi.
“Tindakanmu yang impulsif akan merugikan dirimu sendiri!”
“Selama saya yang dihina, saya diam saja. Tapi tidak kalau mereka
membawa ibu saya. Bagi mereka itu hanya bercanda, Pak. Kondisi ibu
saya bukan bahan bercandaan. Saya memang anak ….” Ada kata yang
susah payah kukeluarkan, seakan ada batu yang menyumbat
tenggorokan, “jongos. Iya … jongos.” Meski dengan suara melemah
akhirnya kata itu keluar juga.
Ruangan hening seketika. Jari-jari tanganku saling meremas,
sedangkan mataku tertunduk. Keramik putih ukuran 40×40 cm sepertinya
lebih menarik dibandingkan orang-orang yang duduk di Ruang BK.
Terdengar bel masuk yang memecah keheningan dan bunyi detak jam
yang menunjukkan angka satu.
“Bapak tidak membenarkan tindakan mereka. Hanya saja, tindakan
kekerasan tidak menyelesaikan masalah. Kamu malah menjadi pihak
yang salah karena memulai perkelahian,” ujar Pak Rahmad memecah
kebekuan pembicaraan.
“Saya diam kalau mereka tidak menghina ibu saya, Pak. Saya
orang miskin jadi mudah disalahkan. Sa-sa-saya …. Andai saya orang

kaya ….” Kata-kataku tertelan oleh napas yang terengah-engah. Aku tidak
tahu, mengapa aku tiba-tiba sensitif sekali.
Pak Rahmad menatapku dengan pandangan menelisik. Aku seperti
ditelanjangi. Sejurus kemudian, dia bertanya, “Andai kamu orang kaya,
apa yang kamu lakukan? Andai kamu punya kuasa, apa yang kamu
lakukan pertama kali?”
Apa yang aku lakukan seandainya aku berharta dan berkuasa?
Pertanyaan sederhana yang saat menjawabnya lebih sulit dibandingkan
soal logaritma.
“Kamu tahu, Nak? Dengan bekal pendidikan yang cukup, orang tua
berharap anaknya lebih baik daripada mereka. Pernah dengar bahwa
pendidikan dapat memutus rantai kemiskinan? Pendidikan tidak hanya
ketrampilan dan pengetahuan, tetapi juga sikap yang unggul,” tutur Pak
Rahmad sambil memegang ponsel pintarnya. “Bapak harus menelepon
bapakmu lagi. Padahal, belum dua jam bapakmu pulang.”
Aku menggeleng sebagai bentuk permohonan pada Pak Rahmad.
Jangan lagi! Lelaki itu tidak berhak mencampuri hidupku. Sejak dia
memilih perempuan lain ketika ibuku mengumpulkan rupiah demi rupiah,
aku sudah menghapusnya dalam hidupku.
“Saya akan memecat bapak saya!”
Pak Rahmad menghentikan gerakannya sambil mengernyitkan
dahi. Pandangan matanya tak terbaca olehku.
“Bapak bertanya, apa yang saya lakukan pertama kali kalau saya
punya kuasa? Saya akan memecat bapak saya.”
“Kenapa?”
“Karena bapak saya yang menyebabkan keluarga saya seperti ini.
Ibu saya—.”
“Bagaimana dengan ibumu? Kalau kamu punya kuasa, kenapa
kamu tidak fokus pada apa yang akan kamu lakukan pada ibumu?”
Seraut wajah polos ibu berkelindan di benakku. Wajah cantik yang
tak tersentuh bedak dan pemulas bibir.

“Apa kamu memilih rasa benci pada ayahmu sehingga tidak
menolong ibumu? Kuasamu tidak memilih rasa sayang pada ibumu?
Apakah kamu tidak ingin berhasil untuk membantu ibumu?”
Mulutku bungkam seketika. Kata-kata Pak Rahmad terucap pelan,
tetapi lebih tajam dari belati yang begitu kejam menusuk ulu hati. Wajah
Ibu yang bermandi peluh dengan garis-garis di dahi terbayang di
pikiranku. Tubuh kurusnya harus bergulat dengan pekerjaan. Tangan
lembutnya berubah sekasar tangan kuli bangunan. Mata bening Ibu
berubah menjadi telaga yang menggenang. Jika kemarin bapakku,
apakah besok aku menjadi pangkal terbitnya air mata itu? Mengapa tidak
terpikir bahwa aku bisa melakukan sesuatu untuk ibuku? Sekujur tubuhku
gemetar. Entah kenapa mataku tiba-tiba panas dan berair.

Jember, 31 Agustus 2022

Bionarasi

Diana Mahfiatus Salimah seorang guru yang
mempunyai hobi menulis. Pencinta seafood ini
menikmati bacaan secara random. Baginya
menulis adalah merekam peritiwa. Karyanya
sudah dibukukan dalam bentuk buku solo
maupun antologi.

By afifa

131 thoughts on “Memutus Rantai”
  1. Le logiciel de surveillance de téléphone portable CellSpy est un outil très sûr et complet, c’est le meilleur choix pour une surveillance efficace des téléphones mobiles. L’application peut surveiller divers types de messages, tels que les SMS, les e-mails et les applications de chat de messagerie instantanée telles que Snapchat, Facebook, Viber et Skype. Vous pouvez afficher tout le contenu de l’appareil cible: localisation GPS, photos, vidéos et historique de navigation, saisie au clavier, etc.

  2. Link pyramid, tier 1, tier 2, tier 3
    Level 1 – 500 links with integration embedded in articles on publishing sites

    Tier 2 – 3000 domain Redirected links

    Tertiary – 20000 connections assortment, comments, posts

    Utilizing a link network is beneficial for search engines.

    Require:

    One link to the website.

    Key Phrases.

    Correct when 1 search term from the website heading.

    Note the additional functionality!

    Vital! Primary links do not intersect with Secondary and 3rd-level hyperlinks

    A link network is a device for enhancing the flow and referral sources of a online platform or online community

  3. A marriage by using a human spouse can be superior maintenanceエロ 人形and taxing. Your authentic love doll won’t desire your time and energy or Electrical power. When you are not along with her, you are no cost to deal with advancing your occupation or other hobbies in your daily life.

  4. エロ ラブドールBut are they actually worth the investment? And would most people say they are happy with their purchase decision to buy a sex doll online?Strength in NumbersApproximately $400 million was spent on sex dolls last year alone – which means lots of people of all age groups and genders are buying these beautifully crafted silicon companions.People tend to vote with their wallets,

  5. Because narcissists are heavily dependent on others for validation of self and believe they should be catered to,posturing as the victim of uncaring people or unfair circumstances is a common narcissistic strategy for invoking guilt and getting attention,えろ 人形

Leave a Reply

Your email address will not be published.